Mimpi Hanya Milik Orang-orang yang Beruang
Uang memang bisa membeli apapun yang kita inginkan bahkan
mimpi sekalipun bisa kita raih jika kita memiliki uang yang begitu banyak. Entah
aku yang menganggapnya salah atau memang seperti itu kenyataannya.
Dari kecil Guru ku disekolah selalu mengatakan “Gantungkan
cita-citamu setinggi langit”. Sebuah kalimat sederhana namun selalu menjadi
penyemangat ku untuk terus bermimpi. Aku hanya bermimpi kelak jika aku besar
aku bisa menjadi seorang dokter. Yeah seorang dokter, sebuah profesi yang
dimataku begitu sangat luar biasa. Aku memang bukan terlahir dari sebuah
keluarga yang kaya raya, ayahku hanya seorang supir sedangkan ibu ku hanya ibu
rumah tangga biasa, tapi ku memiliki cita-cita yang menurut ku dan keluarga ku
begitu besar yaitu menjadi seorang dokter.
Pernah dulu saat SMP ditanyai oleh guru, “kenapa ingin jadi
dokter ? kenapa tidak ingin menjadi yang lain ?” alasan sederhana yang ku jawab
hanya “aku ingin membantu banyak orang pak , bagiku menjadi dokter bisa
membantu banyak orang dan mengobati banyak orang yang sakit”. Hehehe itu bukan
alasan utama kenapa aku sangat bermimpi menjadi dokter, ayah ku sering sakit
bahkan saat sakitnya kambuh ia sering sekali berkata “ambil saja nyawa ku, aku
sudah tidak kuat lagi”. Aku yang dulu masih sangat kecil, yang belum tau
tentang apa-apa, yang ku tau aku tak pernah tega melihat ayah ku seperti itu.
Aku selalu ingin menjadi orang pertama yang akan menolongnya saat dia
membutuhkan orang lain, aku ingin menjadi orang pertama yang akan
menyembuhkannya ketika ia sakit. Ayah adalah alasan utama ku kenapa aku
bermimpi ingin menjadi dokter. Aku ingin
akulah orang pertama yang akan menyembuhkannya ketika ia sakit, ia tak perlu
pergi jauh-jauh untuk berobat karena aku anaknya adalah seorang dokter.
Dr. Turyaningsih ^_^
Ah ...... sebuah gelar yang sangat ku impikan sejak dulu.
Menyandang gelar seorang dokter, mempunyai klinik, bekerja di Rumah Sakit.
Bertugas membantu orang, menolong orang dan menyembuhkan berbagai penyakit. Memakai
seragam dokter, memakai telestop. Itulah impian ku sejak kecil. Impian yang
terus tumbuh berkembang seiring dengan pertumbuhan ku. Impian itu semakin
besar...... besar........ dan semakin besar. Hingga akhirnya impian itu musnah
begitu saja. Dunia ku serasa runtuh seketika ketika ku tau bahwa aku tak akan pernah bisa menjadi
seorang dokter seperti yang ku impikan selama ini.
Impian ku hancur berkeping-keping.
Masa-masa SMA sudah berakhir, saat aku sibuk untuk mencari
Perguruan Tinggi untuk ku melanjutkan sekolah, saat aku sibuk mencari informasi
tentang tes masuk jurusan Kedokteran di sebuah Perguruan Tinggi. Disaat itu
juga, impian ku hancur. Impian yang ku bangun sejak kecil, impian yang terus ku
rawat hingga semakin hari semakin kuat dan besar harus hancur begitu saja dalam
sekejap.
Siang itu saat ku sibuk untuk memilih
Perguruan Tinggi mana yang akan ku pilih, ayah tiba-tiba masuk kekamar ku.
Awalnya ku kira ia akan membantu ku untuk memilih Perguruan Tinggi mana yang
sekiranya bisa ku pilih untuk melanjutkan study ku tapi ternyata dugaan ku
salah. Siang itu entah kenapa menjadi hari yang sangat mengerikan bagi ku, ayah
mulai berbicara ketika aku sibuk membolak balikkan brosur Perguruan Tinggi yang
sedang ku pegang
“lagi
sibuk to mbak ? jadinya mau kuliah dimana ?” , ayah mulai bertanya
“gak
tau pak’e aku pengennya di UGM, kalau gak keterima yah di ITB juga gak papa
kalau masih gak keterima lagi dimana aja gak papa deh gak masalah yang penting
bisa kuliah kedokteran” jawab ku sambil mengembangkan senyum selebar-lebarnya
“bapak
minta maaf sama kamu”, kali ini sorot matanya mulai berubah dan nada bicaranya
pun mulai merendah tidak seperti biasanya
“kenapa
minta maaf pak, maaf buat apa ? kan justru aku yang harusnya minta maaf karena
selalu ngerepotin bapak dan mamah terus” aku mulai cemas akan arah pembicaraan
ini
“bapak
gak bisa kuliahin kamu kedokteran, bapak gak punya uang untuk biayai kamu.
Bapak gak mampu kalau kamu harus ambil jurusan kedokteran biayanya mahal mbak.
Kemarin bapak tanya sama temannya bapak, anaknya juga ambil jurusan kedokteran
biayanya mahal sekali mbak, baru pendaftaran ajah sudah 200 juta belum kalau
pas kuliahnya. Mbak gak marah kan sama bapak ? mbak kuliah disini ajah ya biar
gak jauh-jauh dari bapak. Mbak coba deh jadi guru aja, guru juga membantu
banyak orang”. Kali ini mata ayah mulai memerah, aku lihat ada buih-buih air
mata yang ia tahan agar tak jatuh. Ingin sekali aku memeluk dan menangis
dihadapannya tapi ku tak ingin membuatnya bertambah sedih,
“aku
gak usah kuliah aja pak. Aku mau kerja aja. Gak papa aku gak kuliah, toh aku
cewek nantinya juga Cuma jadi ibu rumah tangga suami ku yang nantinya akan
biayain aku bukan aku. Aku gak jadi kuliah aja pak” senyum ku tetap ku tampakkan agar ayah tak semakin mengkhawatirkanku.
“mbak
marah ya ? bapak minta maaf ya. Mbak kuliah disini aja, mbak jadi guru aja yah.
Dulu bapak itu pengen banget jadi guru supaya bisa ngajar banyak anak, anak
yang diajar supaya pintar semua. Bapak gak mau anaknya bapak gak punya masa
depan. Kamu harus kuliah tapi maaf kamu gak bisa jadi dokter” sambil menepuk
bahuku, ayah meninggalkan ku dengan puing-puing impianku yang telah hancur.
Siapa bilang semua ini mudah untuk
diterima ?. Beberapa hari aku kehilangan semangat ku. Aku malas kesekolah mengurus
ijasah dan lain sebagainya, aku sudah malas berdiskusi dengan teman-teman dekat
berkaitan tentang pendaftraan kuliah dan sebagainya. Aku lebih memilih menyendiri
disudut kamar ku, ku luapkan semuanya dengan tangisan. Mungkin ayah mulai khawatir
dengan keadaan ku tapi aku tak pernah pedulikan hal itu sampai pada malam itu
ku mendengar ayah menyelipkan do’a-do’a untuk ku diakhir solatnya. Do’a yang sampai
saat ini membuat ku berjanji aku tak akan mengecewakannya, aku akan membahagiakannya
sekalipun hatiku hancur.
Pagi harinya ku sudah rapi lengkap
dengan seragam putih abu-abu ku, ku bergegas kesekolah mengurus segala urusan
yang berkaitan untuk melanjutkan study ku ke Perguruan Tinggi. Hari itu juga
kami disuruh mengisi formulir pendaftaran masuk PTN, aku isi semua formulir itu
lengkap dengan jurusan yang ku pilih yaitu PENDIDIKAN MATEMATIKA dan FISIKA,
jurusan yang tak pernah terpikirkan selama ini.
Dan tak butuh waktu lama, ternyata aku keterima masuk dijurusan
PENDIDIKAN MATEMATIKA.
Aku akan menjadi seorang guru. Yeah
seorang guru bukan seorang dokter. Sebuah keterpaksaan yang ku jalani agar tak
ada lagi buih-biuh air mata ayah yang tersisa untuk ku. Sama seperti awal
alasan ku ingin menjadi dokter adalah karena ayah dan kinipun alasan ku menjadi
guru karena ayah. Aku ingin melanjutkan mimpinya yang tak peranh ia capai.
Mimpi ku sudah hancur buat apa aku membangunnya kembali, aku cukup melanjutkan
mimpi dari ayah ku, ia ingin menjadi guru maka aku akan menjadi guru untuknya.
Mimpi
yang bertahun-tahun ku bangun hancur berkeping-keping hanya masalah uang. Hanya
karena kami tak punya begitu banyak uang maka akupun tak bisa mewujudkan mimpi
ku. Apakah mimpi itu hanya untuk orang-orang yang beruang ? sebegitu
menyedihkannya kah kehidupan ini, mengapa semua harus diukur dengan uang ?
lantas bagaimana nasib mimpi orang-orang seperti kami yang tak punya banyak
uang ? apakah kami tak boleh bermimpi ? kenapa pula ada slogan “gantungkanlah
cita-cta mu setinggi langit” ? apakah slogan itu hanya untuk orang-orang yang
beruang bukan pula untuk kami ? Atau mugkin aku terlalu tinggi
menggantungkankan mimpi ku hingga pada akhirnya aku terjatuh dan tak bisa meraih apa yang ku mimpikan. Ah
semua memang bisa dibeli dengan uang, uang memang memudahkan segalanya.
__uyha_my
story__
Huhu .. catatan hati guru matematika
BalasHapusThe next asma nadia,
Nice story sobatku
Sedih yakkk aq mocone... semngt yakkkk
BalasHapusAsep Ariandi@ hehehe ah kamu nie coeba ada" aja
BalasHapusPuja kammi@ hehehe moso' seh ???
BalasHapusPuja kammi@ hehehe moso' seh ???
BalasHapussedih ceritanya.. :')
BalasHapus