Kamis, 18 Februari 2016

mimpi hanya milik orang-orang yang beruang

Mimpi Hanya Milik Orang-orang yang Beruang

Uang memang bisa membeli apapun yang kita inginkan bahkan mimpi sekalipun bisa kita raih jika kita memiliki uang yang begitu banyak. Entah aku yang menganggapnya salah atau memang seperti itu kenyataannya.
Dari kecil Guru ku disekolah selalu mengatakan “Gantungkan cita-citamu setinggi langit”. Sebuah kalimat sederhana namun selalu menjadi penyemangat ku untuk terus bermimpi. Aku hanya bermimpi kelak jika aku besar aku bisa menjadi seorang dokter. Yeah seorang dokter, sebuah profesi yang dimataku begitu sangat luar biasa. Aku memang bukan terlahir dari sebuah keluarga yang kaya raya, ayahku hanya seorang supir sedangkan ibu ku hanya ibu rumah tangga biasa, tapi ku memiliki cita-cita yang menurut ku dan keluarga ku begitu besar yaitu menjadi seorang dokter.
Pernah dulu saat SMP ditanyai oleh guru, “kenapa ingin jadi dokter ? kenapa tidak ingin menjadi yang lain ?” alasan sederhana yang ku jawab hanya “aku ingin membantu banyak orang pak , bagiku menjadi dokter bisa membantu banyak orang dan mengobati banyak orang yang sakit”. Hehehe itu bukan alasan utama kenapa aku sangat bermimpi menjadi dokter, ayah ku sering sakit bahkan saat sakitnya kambuh ia sering sekali berkata “ambil saja nyawa ku, aku sudah tidak kuat lagi”. Aku yang dulu masih sangat kecil, yang belum tau tentang apa-apa, yang ku tau aku tak pernah tega melihat ayah ku seperti itu. Aku selalu ingin menjadi orang pertama yang akan menolongnya saat dia membutuhkan orang lain, aku ingin menjadi orang pertama yang akan menyembuhkannya ketika ia sakit. Ayah adalah alasan utama ku kenapa aku bermimpi ingin menjadi dokter.  Aku ingin akulah orang pertama yang akan menyembuhkannya ketika ia sakit, ia tak perlu pergi jauh-jauh untuk berobat karena aku anaknya adalah seorang dokter.

Dr. Turyaningsih ^_^
Ah ...... sebuah gelar yang sangat ku impikan sejak dulu. Menyandang gelar seorang dokter, mempunyai klinik, bekerja di Rumah Sakit. Bertugas membantu orang, menolong orang dan menyembuhkan berbagai penyakit. Memakai seragam dokter, memakai telestop. Itulah impian ku sejak kecil. Impian yang terus tumbuh berkembang seiring dengan pertumbuhan ku. Impian itu semakin besar...... besar........ dan semakin besar. Hingga akhirnya impian itu musnah begitu saja. Dunia ku serasa runtuh seketika ketika ku tau  bahwa aku tak akan pernah bisa menjadi seorang dokter seperti yang ku impikan selama ini.
Impian ku hancur berkeping-keping.
Masa-masa SMA sudah berakhir, saat aku sibuk untuk mencari Perguruan Tinggi untuk ku melanjutkan sekolah, saat aku sibuk mencari informasi tentang tes masuk jurusan Kedokteran di sebuah Perguruan Tinggi. Disaat itu juga, impian ku hancur. Impian yang ku bangun sejak kecil, impian yang terus ku rawat hingga semakin hari semakin kuat dan besar harus hancur begitu saja dalam sekejap.
          Siang itu saat ku sibuk untuk memilih Perguruan Tinggi mana yang akan ku pilih, ayah tiba-tiba masuk kekamar ku. Awalnya ku kira ia akan membantu ku untuk memilih Perguruan Tinggi mana yang sekiranya bisa ku pilih untuk melanjutkan study ku tapi ternyata dugaan ku salah. Siang itu entah kenapa menjadi hari yang sangat mengerikan bagi ku, ayah mulai berbicara ketika aku sibuk membolak balikkan brosur Perguruan Tinggi yang sedang ku pegang

“lagi sibuk to mbak ? jadinya mau kuliah dimana ?” , ayah mulai bertanya
“gak tau pak’e aku pengennya di UGM, kalau gak keterima yah di ITB juga gak papa kalau masih gak keterima lagi dimana aja gak papa deh gak masalah yang penting bisa kuliah kedokteran” jawab ku sambil mengembangkan senyum selebar-lebarnya
“bapak minta maaf sama kamu”, kali ini sorot matanya mulai berubah dan nada bicaranya pun mulai merendah tidak seperti biasanya
“kenapa minta maaf pak, maaf buat apa ? kan justru aku yang harusnya minta maaf karena selalu ngerepotin bapak dan mamah terus” aku mulai cemas akan arah pembicaraan ini
“bapak gak bisa kuliahin kamu kedokteran, bapak gak punya uang untuk biayai kamu. Bapak gak mampu kalau kamu harus ambil jurusan kedokteran biayanya mahal mbak. Kemarin bapak tanya sama temannya bapak, anaknya juga ambil jurusan kedokteran biayanya mahal sekali mbak, baru pendaftaran ajah sudah 200 juta belum kalau pas kuliahnya. Mbak gak marah kan sama bapak ? mbak kuliah disini ajah ya biar gak jauh-jauh dari bapak. Mbak coba deh jadi guru aja, guru juga membantu banyak orang”. Kali ini mata ayah mulai memerah, aku lihat ada buih-buih air mata yang ia tahan agar tak jatuh. Ingin sekali aku memeluk dan menangis dihadapannya tapi ku tak ingin membuatnya bertambah sedih,
“aku gak usah kuliah aja pak. Aku mau kerja aja. Gak papa aku gak kuliah, toh aku cewek nantinya juga Cuma jadi ibu rumah tangga suami ku yang nantinya akan biayain aku bukan aku. Aku gak jadi kuliah aja pak” senyum ku  tetap ku tampakkan agar ayah tak semakin mengkhawatirkanku.
“mbak marah ya ? bapak minta maaf ya. Mbak kuliah disini aja, mbak jadi guru aja yah. Dulu bapak itu pengen banget jadi guru supaya bisa ngajar banyak anak, anak yang diajar supaya pintar semua. Bapak gak mau anaknya bapak gak punya masa depan. Kamu harus kuliah tapi maaf kamu gak bisa jadi dokter” sambil menepuk bahuku, ayah meninggalkan ku dengan puing-puing impianku yang telah hancur.
          Siapa bilang semua ini mudah untuk diterima ?. Beberapa hari aku kehilangan semangat ku. Aku malas kesekolah mengurus ijasah dan lain sebagainya, aku sudah malas berdiskusi dengan teman-teman dekat berkaitan tentang pendaftraan kuliah dan sebagainya. Aku lebih memilih menyendiri disudut kamar ku, ku luapkan semuanya dengan tangisan. Mungkin ayah mulai khawatir dengan keadaan ku tapi aku tak pernah pedulikan hal itu sampai pada malam itu ku mendengar ayah menyelipkan do’a-do’a untuk ku diakhir solatnya. Do’a yang sampai saat ini membuat ku berjanji aku tak akan mengecewakannya, aku akan membahagiakannya sekalipun hatiku hancur.
          Pagi harinya ku sudah rapi lengkap dengan seragam putih abu-abu ku, ku bergegas kesekolah mengurus segala urusan yang berkaitan untuk melanjutkan study ku ke Perguruan Tinggi. Hari itu juga kami disuruh mengisi formulir pendaftaran masuk PTN, aku isi semua formulir itu lengkap dengan jurusan yang ku pilih yaitu PENDIDIKAN MATEMATIKA dan FISIKA, jurusan yang tak pernah terpikirkan selama ini.  Dan tak butuh waktu lama, ternyata aku keterima masuk dijurusan PENDIDIKAN MATEMATIKA.
          Aku akan menjadi seorang guru. Yeah seorang guru bukan seorang dokter. Sebuah keterpaksaan yang ku jalani agar tak ada lagi buih-biuh air mata ayah yang tersisa untuk ku. Sama seperti awal alasan ku ingin menjadi dokter adalah karena ayah dan kinipun alasan ku menjadi guru karena ayah. Aku ingin melanjutkan mimpinya yang tak peranh ia capai. Mimpi ku sudah hancur buat apa aku membangunnya kembali, aku cukup melanjutkan mimpi dari ayah ku, ia ingin menjadi guru maka aku akan menjadi guru untuknya.
          Mimpi yang bertahun-tahun ku bangun hancur berkeping-keping hanya masalah uang. Hanya karena kami tak punya begitu banyak uang maka akupun tak bisa mewujudkan mimpi ku. Apakah mimpi itu hanya untuk orang-orang yang beruang ? sebegitu menyedihkannya kah kehidupan ini, mengapa semua harus diukur dengan uang ? lantas bagaimana nasib mimpi orang-orang seperti kami yang tak punya banyak uang ? apakah kami tak boleh bermimpi ? kenapa pula ada slogan “gantungkanlah cita-cta mu setinggi langit” ? apakah slogan itu hanya untuk orang-orang yang beruang bukan pula untuk kami ? Atau mugkin aku terlalu tinggi menggantungkankan mimpi ku hingga pada akhirnya aku terjatuh dan  tak bisa meraih apa yang ku mimpikan. Ah semua memang bisa dibeli dengan uang, uang memang memudahkan segalanya.


__uyha_my story__

6 komentar: